Senin, 10 Februari 2014

Peringatan Maulid Nabi, Bid'ah-kah???



Sejarah Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW
Peringatan Maulid Nabi, dalam konteks Indonesia dilestarikan oleh muslim Indonesia, khususnya Nahdliyyin pada bulan Rabi'ul Awwal, apalagi setelah diberlakukannya tanggal 12 Rabi'ul Awwal sebagai Hari Libur Nasional yang sejajar dengan hari besar lainnya, seperti yang tercatat di dalam kalender pemerintah Indonesia. Bahkan saat ini peringatan tersebut dirayakan di berbagai instansi, baik pemerintahan maupun swasta, dengan aneka ragam acara, mulai dari pagelaran budaya masing-masing daerah yang bernuansa Islami sampai pada pengajian yang berisi mau'idlah hasanah tentang sejarah tauladan Nabi Muhammad sebagai acara inti. ( Landasan Amaliyah NU, hlm. 98 ).


Peringatan Maulid Nabi termasuk tradisi baru, yang belum pernah terjadi pada masa Rasulullah SAW masih hidup, juga setelahnya. Bid’ah hasanah ini sebagaimana dikutip Syaikh al-Harary terjadi pada awal tahun enam ratus Hijriah oleh Penguasa Ibril dari Irak, Raja al-Mudhaffar Abu Sa'id Al Kukburiy bin Zainuddin Ali Bin Buktikin (w. 630 H/1232 M) yang terkenal alim, ahli taqwa, pemberani dan bermadzhab Ahlissunnah wal Jama’ah. Untuk peringatan ini beliau mengumpulkan banyak ulama dari kalangan ahli hadits, para shufi, dan prakarsa ini kemudian dinyatakan baik oleh para ulama dari penjuru Timur hingga Barat, misalnya oleh Ibn Hajar Al-Asqalany ( 793-852 H/1391-1448 M ), Al-Hafidz as-Sakhawy ( w. 902 H ), dan Al-Hafidz as-Suyuthy (Sharihul Bayan, Juz I, hlm. 286 ).

Al-Hafidz as-Sakhawy, murid Ibn Hajar Al-Asqalany menuturkan bahwa peringatan Maulid Nabi ini belum pernah terjadi pada masa ulama salaf pada Abad Ketiga Hijriah, hal ini terjadi setelah abad itu, dimana masyarakat muslim dari segala penjuru senantiasa memperingatinya, dan pada malam harinya mereka berderma dengan aneka shadaqah dan membaca sejarah kelahiran Nabi. ( Al-Ajwibah al-Mardhiyyah, Juz III, hlm. 1116- 1120 ).

Secara substansial nilai-nilai yang terkandung di dalam peringatan maulid itu sudah dilaksanakan oleh Rasulullah SAW, sebagaimana yang ditunjukkan langsung oleh beliau dalam haditsnya sebagai berikut:
Dari Abi Qotadah al-Anshariy, sesungguhnya Rasulullah SAW ditanya tentang puasa Senin (yang sudah menjadi kebiasaan beliau), lalu beliau menjawab bahwa pada hari itu aku dilahirkan, dan (pada hari itu pula) wahyu diturunkan (Allah Ta’ala) kepadaku. (HR Muslim).

Hukum Dan Landasan
Hendaklah diketahui bahwa menghalalkan dan mengharamkan sesuatu yang tidak tercantum secara sharih dalam Al-Quran dan Hadits adalah tugas seorang mujtahid seperti Imam Malik, Imam Syafi'i, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad –Radhiallahu ‘anhum ajma’iin-. Tidak setiap orang yang telah menulis sebuah kitab, kecil maupun besar, dapat mengambil tugas para Imam mujtahid dari kalangan ulama' as-Salaf ash-Shalih tersebut, sehingga berfatwa, menghalalkan ini dan mengharamkan itu tanpa merujuk kepada perkataan para Imam mujtahid dari kalangan salaf dan khalaf yang telah dipercaya oleh umat karena jasa-jasa baik mereka. Maka barang siapa yang mengharamkan menyebut nama (berdzikir) Allah 'azza wa jalla dan menelaah sifat-sifat nabi pada peringatan hari lahirnya dengan alasan bahwa Nabi tidak pernah melakukannya, kita katakan kepadanya: Apakah anda juga mengharamkan mihrab-mihrab (tempat imam) yang ada di semua masjid dan menganggap mihrab tersebut termasuk bid'ah dlalalah?! Dan apakah anda juga mengharamkan kodifikasi al Qur'an dalam satu mushaf serta pemberian tanda titik dalam al Qur'an dengan alasan Nabi tidak pernah melakukannya?! Kalau anda mengharamkan itu semua berarti anda telah mempersempit keleluasaan yang telah Allah berikan kepada hamba-Nya untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik yang belum pernah ada pada masa Nabi. Padahal Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam telah bersabda:

"مَنْ  سَنَّ  فيِ  اْلإِسْـلاَمِ  سُنَّةً  حَسَنـَةً  فَلَهُ  أَجْرُهَا وَأَجْرُ  مَنْ  عَمِلَ  بِهَا بّعْدَهُ  مِنْ  غَيْرِ  أَنْ يَنْقُصَ مِنْ  أُجُوْرِهِمْ  شَىْءٌ" رواه الإمام مسلم في صحيحه .
"Barang siapa yang memulai dalam Islam sebuah perkara yang baik maka ia akan mendapatkan pahala perbuatan tersebut dan pahala orang yang mengikutinya setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun". (H.R. Muslim).

Sahabat Umar ibn al Khaththab setelah mengumpulkan para sahabat dalam shalat tarawih dengan bermakmum kepada satu imam mengatakan :
" نِعْمَ  الْبِدْعَةُ  هَذِهِ "  رواه الإمام البخاريّ في  صحيحه .
"Sebaik-baik bid'ah adalah ini" (H.R. al Bukhari).

Dari sinilah Imam Syafi'i Ra. menyimpulkan:
"الْمُحْدَثَاتُ مِنَ  اْلأُمُوْرِ  ضَرْبَانِ  : أَحَدُهُمَا : مَا أُحْدِثَ  ِممَّا يُخَالـِفُ  كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثرًا أَوْ إِجْمَاعًا ، فهَذِهِ  اْلبِدْعَةُ  الضَّلاَلـَةُ، وَالثَّانِيَةُ : مَا أُحْدِثَ مِنَ  الْخَيْرِ  لاَ خِلاَفَ  فِيْهِ  لِوَاحِدٍ  مِنْ  هذا ، وَهَذِهِ  مُحْدَثَةٌ  غَيْرُ  مَذْمُوْمَةٍ "  رواه الحافظ البيهقيّ في كتاب " مناقب الشافعيّ"
"Perkara-perkara yang baru (al muhdats) terbagi dua, Pertama : perkara baru yang bertentangan dengan kitab ,sunnah, atsar para sahabat dan ijma', ini adalah bid'ah dlalalah, kedua: perkara baru yang baik dan tidak bertentangan dengan salah satu dari hal-hal di atas, maka ini adalah perkara baru yang tidak tercela" . (diriwayatkan oleh al-Hafizh al-Bayhaqi dalam kitabnya "Manaqib asy-Syafi'i" Juz I hlm. 469)

Adapun hukum yang terkandung di dalam peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW dapat dilihat dari adanya hal-hal sebagai berikut:

1. Jika dilihat dari tindakan perayaannya, maka statusnya dapat dikategorikan sebagai hal baru ( bid'ah)
2. Jika dilihat dari kandungan di dalam perayaannya yang bernilai positif (hasanah), maka para ahli bersepakat untuk mengatakan bahwa perayaan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW adalah termasuk Bid'ah Hasanah, yang hukumnya adalah boleh (Mubah), bahkan bisa berubah menjadi sunnah (dianjurkan/masnun). Hal ini disebabkan karena adanya beberapa faktor:
Dapat meneguhkan hati umat Islam setelah mendengar penyampaian biografi Nabi Muhammad SAW dalam acara peringatan Maulid, sebab beliau adalah rahmat a'dzam (rahmat paling agung) bagi umat manusia, sebagaimana anjuran al-Qur'an untuk selalu merayakan hari lahirnya rahmat, yaitu:

Katakanlah, dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. (QS. Yunus : 58)

Dan semua kisah-kisah para rasul Kami ceritakan kepadamu yakni kisah-kisah yang dengannya kami teguhkan hatimu. (QS. Hud : 120)

Memperbanyak bacaan shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad itu, sesuai dengan Firman Allah Ta’ala sebagai berikut:

Sesungguhnya Allah dan Malaikat-Malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi, Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya. (QS. Al-Ahzab : 56)

Imam al-Suyuthiy (849-910 H/ 1445-1505 M) dalam “Husnul Maqshad fi Amalil Maulid” menanggapi hukum perayaan Maulid Nabi sebagai berikut:
Jawabnya menurut saya: "Bahwa asal perayaan Maulid Nabi Muhammad, yaitu manusia berkumpul, membaca al Qur’an dan kisah-kisah teladan kemudian menghidangkan makanan yang dinikmati bersama, setelah itu mereka pulang. Hanya itu yang dilakukan, tidak lebih. Semua itu termasuk bid’ah hasanah. Orang yang melakukannya diberi pahala karena mengagungkan derajat Nabi, menampakkan suka cita dan kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhammad yang mulia. ( Al-Hawy Lil Fatawa, Juz I, hlm. 189-197 )

Jika dilihat dari sisi nilai positif yang terkandung di dalamnya seperti itu, maka para ahli berkomentar seperti dalam kitab sebagai berikut:
1) Kitab Iqtidlaus Shirath al-Mustaqim, yaitu:
Mengagungkan Maulid dan menjadikannya sebagai hari raya setiap musim, dilakukan oleh sebagian orang dan ia akan mendapatkan suatu pahala yang sangat besar dengan melakukannya, karena niatnya yang baik dan karena mengagungkan Rasulullah, sebagaimana yang telah aku sampaikan.

2) Ibnu Taimiyah sebagaimana dikutip Sayyid Muhammad bin ‘Alwi al-Maliki, yaitu:
Ibn Taimiyyah berkata, “orang-orang yang melaksanakan perayaan Maulid Nabi akan diberi pahala. Demikian pula apa yang dilakukan oleh sebagian orang. Adakalanya bertujuan meniru di kalangan Nasrani yang memperingati kelahiran Isa AS, dan adakalanya juga dilakukan sebagai ekspresi rasa cinta dan penghormatan kepada Nabi Muhammad. Allah Ta’ala akan memberi pahala kepada mereka atas kecintaan mereka kepada Nabi mereka, bukan atas bid’ah yang mereka lakukan.” (Manhajus Salaf fi Fahmin Nushush Bainan Nadzariyyat wat Tathbiq, hlm. 399)

3) Kitab I’anatut Tholibin , yaitu
Dan di antara bid’ah yang baik di zaman kita adalah perbuatan yang dilakukan setiap tahun pada hari yang bertepatan dengan hari kelahiran Nabi seperti shadaqoh, berbuat baik, menampakkan pakaian yang bagus, dan bergembira.

4) Kitab Mafahim Yajibu An Tushahhah..., yaitu:
Pada pokoknya, berkumpul untuk mengadakan Maulid Nabi merupakan sesuatu yang telah mentradisi. Namun hal itu termasuk kebiasaan yang baik yang mengandung banyak kegunaan dan manfaat yang akhirnya kembali kepada umat itu sendiri dengan beberapa keutamaan di dalamnya. Sebab kebiasaan seperti itu memang dianjurkan oleh syara’ secara parsial (bagian bagiannya).

Demikian pula dinyatakan oleh para ulama yang fatwanya bisa dipertanggungjawabkan seperti Al-Hafizh Ibnu Hajar (w. 852 H), Al-Hafizh Ibnu Dihyah (abad 7 H), Al-Hafizh al 'Iraqi (w. 806 H), Al-Hafizh as-Suyuthi (w. 911 H), Al-Hafizh as-Sakhawi (w. 902 H), Syekh Ibnu Hajar al Haytami (w. 974 H), Imam Nawawi  (w. 676 H), Imam al ‘Izz ibn 'Abdissalam (w. 660 H), Syekh Muhammad Bakhit al Muthi'i (w. 1354 H), Mantan Mufti Mesir yang lalu, Syekh Mushthafa Naja (w. 1351 H) mantan Mufti Beirut terdahulu dan masih banyak lagi yang lain.

Dengan demikian fatwa yang menyatakan peringatan Maulid Nabi adalah bid'ah muharramah (bid'ah yang haram) sama sekali tidak berdasar dan menyalahi fatwa para ulama Ahlussunnah, karenanya tidak boleh diikuti sebab fatwa ini bukan fatwa seorang mujtahid. Kita hanya akan mengikuti para ulama yang mu'tabar, selain itu bukankah hukum asal segala sesuatu adalah boleh selama tidak ada dalil yang mengharamkan. Agama Allah mudah tidaklah susah. Dan karena inilah para ulama di semua negara Islam selalu melaksanakan peringatan Maulid Nabi di mana-mana, Semoga Allah senantiasa memberikan kebaikan dan melimpahkan keberkahan Nabi shallallahu 'alayhi wasallam kepada kita semua, amin.

Allahumma Shalli ‘ala Ruuhi Sayyidina Muhammadin fil arwah, wa ‘ala jasadihi fil ajsad, wa ‘ala qabrihi fil qubur, wa’ala alihi wa shahbihi wasallim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar